Sesungguhnya ada dua faktor integral yang menjadi
dasar dan latar belakang sejarah berdirinya IMM, yaitu faktor intern dan
faktor ekstern. Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor yang
terdapat dan ada dalam organisasi Muhmmadiyah itu sendiri. Sedangkan faktor
ekstern adalah hal-hal dan keadaan yang datang dari dan berada di luar
Muhammadiyah, yaitu situasi dan kondisi kehidupan umat dan bangsa serta
dinamika gerakan organisasi-organisasi mahasiswa.
Faktor intern sebetulnya lebih dominan dalam bentuk
motivasi idealis dari dalam, yaitu dorongan untuk mengembangkan ideologi,
paham, dan cita-cita Muhammadiyah. Untuk mewujudkan cita-cita dan
merefleksikan ideologinya itu, maka Muhammadiyah mesti bersinggungan dan
berinteraksi dengan berbagai lapisan dan golongan masyarakat yang majemuk.
Ada masyarakat petani, pedagang, birokrat, intelektual, profesional,
mahasiswa. dan sbagainya.
Interaksi dan persinggungan Muhammadiyah dengan
mahasiswa untuk merealisasikan maksud dan tujuannya itu, cara dan strateginya
bukan secara langsung terjun mendakwahi dan mempengaruhinya di kampus-kampus
perguruan tinggi. Tetapi caranya adalah dengan menyediakan dan membentuk
wadah khusus yang bisa menarik animo dan mengembangkan potensi mahasiswa.
Anggapan mengenai pentingnya wadah bagi mahasiswa tersebut lahir pada saat
Muktamar ke-25 Muhammadiyah (Kongres Seperempat Abad Kelahiran Muhammdiyah)
pada tahun 1936 di Jakarta. Pada kesempatan itu dicetuskan pula cita-cita
besar Muhammadiyah untuk mendidirkan universitas atau perguruan tinggi
Muhammadiyah.
Namun demikian, keinginan untuk menghimpun dan
membina mahasiswa-mahasiswa Muhammadiyah tersebut tidak bisa langsung
terwujud, karena pada saat itu Muhammadiyah belum memiliki perguruan tinggi
sendiri. Untuk menjembataninya, maka para mahasiswa yang sepaham, atau
mempunyai alam pikiran yang sama, dengan Muhammadiyah itu diwadahi dalam
organisasi otonom yang telah ada seperti NA dan Pemuda Muhammadiyah, serta
tidak sedikit pula yang berkecimpung di HMI. Pada tanggal 18 November 1955,
Muhammadiyah baru bisa mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan perguruan
tinggi yang sejak lama telah dicetuskannya pada tahun 1936, yaitu dengan
berdirinya Fakultas Hukum dan Filsafat di Padang Panjang. Pada tahun 1958,
fakultas serupa dibangun di Surakarta; kemudian di Yogyakarta berdiri Akademi
Tabligh Muhammadiyah; dan Fakultas Ilmu Sosial di Jakarta, yang kemudian
berkembang menjadi Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kendati demikian,
cita-cita untuk membentuk organisasi bagi mahasiswa muhammadiyah tersebut
belum bisa terbentuk juga pada waktu itu. Kendala utamanya karena
Muhammadiyah—yang waktu itu masih menjadi anggota istimewa Masyumi—terikat
Ikrar Abadi umat Islam yang dicetuskan pada tanggal 25 Desember 1949, yang
salah satu isinya menyatakan satu-satunya organisasi mahasiswa Islam adalah
HMI.
Sejak kegiatan pendidikan tinggi atau
perguruan tinggi Muhammadiyah berkembang pada tahun 1960-an itulah kembali
santer ide tentang perlunya organisasi yang khusus mewadahi dan menangani
mahasiswa. Sementara itu, menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di
Jakarta pada tahun 1962, mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi Muhammadiyah
mengadakan Kongres Mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta. Dari kongres ini
pula upaya untuk membentuk organisasi khusus bagi mahasiswa Muhammadiyah
kembali mengemuka. Pada tanggal 15 Desember 1963 mulai diadakan penjajagan berdirinya Lembaga
Dakwah Mahasiswa yang idenya berasal dari Drs. Mohammad Djazman, dan kemudian
dikoordinir oleh Ir. Margono, dr. Soedibjo Markoes, dan Drs. A. Rosyad
Sholeh.
Dorongan untuk segera membentuk wadah bagi mahasiswa
Muhammadiyah juga datang dari para mahasiswa Muhammadiyah yang ada di Jakarta
seperti Nurwijoyo Sarjono, M.Z. Suherman, M. Yasin, Sutrisno Muhdam dan yang
lainnya. Dengan banyaknya desakan dan dorongan tersebut, maka PP Pemuda
Muhammadiyah—waktu itu M. Fachrurrazi sebagai Ketua Umum dan M. Djazman Al
Kindi sebagai Sekretaris Umum—mengusulkan kepada PP Muhammadiyah—yang waktu
itu diketuai oleh K.H. Ahmad Badawi—untuk mendirikan organisasi khusus bagi
mahasiswa yang diiberi nama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah—atas usul Drs.
Mohammad Djazman yang--, dan kemudian disetujui oleh PP Muhammadiyah serta
diresmikan pada tanggal 14 Maret 1964 (29 Syawwal 1384). Peresmian berdirinya
IMM itu resepsinya diadakan di gedung Dinoto Yogyakarta; dan ditandai dengan
penandatanganan "Enam Penegasan IMM" oleh K.H. Ahmad Badawi, yang
berbunyi:
1.
Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam;
2.
Menegaskan bahwa kepribadian Muhammadiyah adalah
landasan perjuangan IMM;
3.
Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amala
adalah ilmiah;
4.
Menegaskan bahwa amal IMM adalah lilLahi Ta'ala dan
seenantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat.
Sedangkan faktor ekstern berdirinya IMM berkaitan
dengan situasi dan kondisi kehidupan di luar dan di sekitar Muhammadiyah. Hal
ini paling tidak bertalian dengan keadaan umat Islam, kehidupan berbangsa dan
bernegara rakyat Indonesia, serta dinamika gerakan mahasiswa.
Keadaan dan kehidupan umat Islam waktu itu masih
banyak dipenuhi oleh tradisi, paham, dan keyakinan yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam yang sesungguhnya. Keyakinan dan praktek keagamaan umat Islam,
termasuk di dalamnya adalah mahasiswa, banyak bercampur baur dengan takhayul,
bid`ah, dan khurafat.
Sementara itu dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara juga tengah terancam oleh pengaruh ideologi komunis (PKI),
keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan konflik kekuasaan antar golongan
dan partai politik. Sehingga, kendati waktu itu Indonesia telah merdeka
selama kurang lebih 20 tahun, namun tidak bisa mencerminkan makna dan
cita-cita proklamasi kemerdekaan. Demokrasi dan kedaulatan rakyat
terkungkung, sementara tirani kekuasaan dan otoritarianisme merajalela akibat
kebijakan demokrasi terpimpin ala Soekarno.
Keadaan politik Indonesia sekitar awal
sampai dengan pertengahan tahun '60-an, tulis Cosmas Batubara, sangat
menarik. Banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa perkembangan dan
kehidupan politik saat itu diwarnai oleh tiga pelaku politik yang amat
dominan, yaitu: Diri pribadi Presiden soekarno; ABRI (terutama sekali
angkatan Darat); dan PKI. Ketiga kekuatan politik tersebut sangat mewarnai
dan mempengaruhi perilaku dan orientasi kehidupan berbangsa, dan bernegara di
berbagai lapisan dan kelompok masyarakat. Di kalangan organisasi mahasiswa,
orientasi dan perilaku politiknya juga terbagi ke dalam tiga kekuatan dominan
tadi. Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis Presiden
Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah HMI, PMKRI,
dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang
mengikuti dan mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia). Di tengah kemelut dan pertentangan garis politik tersebut,
pergolakan organisasi-organisasi mahasiswa sampai dengan terjadinya G30S 1965 terlihat menemui jalan buntu dalam
mempertahankan partisipasinya di era kemerdekaan RI. Pada waktu itu sejak
Kongres Mahasiswa Indonesia di malang pada tanggal 8 Juni 1947,
organisais-organisasi mahasiswa seperti HMI, PMKRI (Persatuan Mahasiswa
Katholik Republik Indonesia), PMKI (Persekutuan Mahasiswa Kristen Indonesia;
yang pada tahun 1950 berubah menjadi GMKI [Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia]),
PMJ (Persatuan Mahasiswa Jogjakarta), PMD (Persatuan Mahasiswa Djakarta), MMM
(Masyarakat Mahasiswa Malang), PMKH (Persatuan Mahasiswa Kedokteran Hewan),
dan SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia) berfusi ke dalam PPMI (Perserikatan
Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang bersifat independen.
Independensi PPMI sebagai penggalang kekuatan anti-imperialisme pada mulanya
berjalan kompak. Tetapi setelah mengadakan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika
(KMAA) di Bandung tahun 1957—yang menjadi prestasi puncak PPMI—masing-masing
organisasinya kemudian memisahkan diri. Hal ini karena pada tahun 1958 PPMI
menerima CGMI, selundupan PKI, yang kemudian melancarkan aksi intervensi
untuk mempengaruhi organisasi mahasiswa lain agar keluar dari PPMI. Akhirnya ,
karena kuatnya pengaruh dan intervensi dari CGMI tersebut, maka masing-masing
organisasi dalam PPMI memisahkan diri. Pada bulan oktober 1965, setelah PKI
dilumpuhkan, PPMI akhirnya secara resmi membubarkan diri. Sasaran gerakan
CGMI sebetulnya ingin mendominasi gerakan mahasiswa dan kehidupan kampus
serta ingin menyingkirkan organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti HMI.
Sesungguhnya sebelum PPMI membubarkan diri, antara
tahun 1964 sampai 1965 masing-masing organisasi mahasiswa yang berfusi di
dalamnya bersikap sok revolusioner. Pada akhirnya HMI juga tidak ketinggalan
untuk menjadi bagian dari kekuatan revolusioner. Menurut Deliar Noer, waktu
itu HMI dengan keras turut menyanyikan senandung Demokrasi Terpimpin.
Slogan-slogan Soekarno mulai dikumandangkan seperti "Nasakom
jiwaku", "revolusioner", dan "ganyang Malaysia".
Bahkan pada tahun 1964 HMI memecat beberapa anggota penasihatnya yang telah
alumni karena tidak sesuai dengan revolusi. HMI juga mengecam keras Kasman
Singodimedjo yang sedang menghadapi pengadilan di Bogor dan menuntut dihukum
sekeras-kerasnya bila bersalah.
Kendati HMI telah berusaha menunjukkan eksistensi
dirinya sebagai bagian dari kekuatan revolusioner, namun tetap saja HMI
menjadi sasaran CGMI dan/atau PKI untuk dibubarkan. Pada saat saat HMI
terdesak itulah Ikatan mahasiswa Muhammadiyah lahir pada tanggal 14 maret
1964 (29 Syawal 1384 H). Itulah sebabnya muncul persepsi yang keliru bahwa
IMM dibentuk adalah sebagai persiapan untuk menampung aggota-anggota HMI
kalau terjadi dibubarkan. Persepsi yang keliru ini dikaitkan dengan dekatnya
hubungan HMI dengan Muhammadiyah. Sebagaimana diketahui bahwa HMI pada
mulanya didirikan dan dibesarkan oleh orang-orang Muhammadiyah, maka kalau
HMI dibubarkan Muhammadiyah harus menyediakan wadah lain.
Persepsi tersebut adalah keliru, karena kelahiran
IMM salah satu faktor historisnya adalah justru untuk membantu dan
mempertahankan eksistensi HMI supaya tidak mempan dengan usaha-usaha PKI yang
ingin membubarkannya. Sebab, kalau kelahiran IMM diperuntukkan untuk
mengganti HMI jika dibubarkan, maka IMM tidak perlu repot-repot terlibat
dalam beraksi menentang PKI yang mau membubarkan HMI. Di antara praduga
mengapa kehadiran IMM dalam sejarah gerakan mahasiswa dipersoalkan adalah
karena sangat dekatnya kelahiran IMM—kendati ide dasarnya sudah ada sejak
tahun 1936—dengan peristiwa G 30 S/PKI. Sehingga muncul pertanyaan (yang
menggugat), mengapa IMM yang baru lahir sudah langsung terlibat dalam
peristiwa nasional dan sejarah besar dalam pergulatan bangsa melawan dan
menghancurkan PKI. Pada tahun 1965, IMM juga ikut bergabung dalam wadah KAMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dan Slamet Sukirnanto, salah seorang
tokoh DPP IMM, pada saat dibentuknya KAMI menjadi salah satu Ketua Presidium
Pusat KAMI. IMM sendiri pada masa-masa awal berdiriya tidak luput dari
ancaman dan teror PKI. Reaksi jahat dari PKI terhadap kelahiran IMM tersebut
tidak saja tejadi di pusat, tetapi juga di daerah-daerah. Untuk menyelamatkan
eksistensi IMM yang baru berdiri itu, maka dalam kesempatan audiensi dan
silaturahmi dengan Presiden Soekarno di Istana Negara Jakarta pada tanggal 14
Februari 1965 DPP IMM meminta restunya. "Saja beri restu kepada Ikatan
Mahasiswa Muhammadijah", demikian pernyataan yang ditandatangai oleh
Presiden Soekarno. Karena IMM merupakan kebutuhan intern dan ekstern
Muhammadiyah, maka tokoh-tokoh PP Pemuda Muhammadiyah yang sebelumnya
bergabung dengan HMI kembali, sekaligus untuk membina dan mengembangkan IMM.
Dalam hal ini juga muncul klaim dan persepsi yang keliru, bahwa IMM
dilahirkan oleh HMI. Tokoh-tokoh Pemuda Muhammadiyah khususnya yang terlibat
menghembangkan HMI, karena waktu itu IMM belum ada. Sementara keterlibatan
mereka di HMI adalah untuk mengembangkan ideologi Muhammadiyah. Buktinya
setelah sekian lama ada di HMI, ternyata HMI yang sudah dimasuki oleh
mahasiswa dari berbagai kalangan ormas keislaman itu pada akhirnya berbeda
dengan orientasi Muhammadiyah. Oleh karena itu adalah wajar jika pada
akhirnya mereka kembali ke Muhammadiyah sekaligus untuk turut mengembangkan
IMM. Hal ini seperti yang terjadi di Yogyakarta, Jakarta, Riau, Padang,
Ujungpandang dan lain lain. Juga perlu dicatat bahwa para tokoh PP Pemuda
Muhammadiyah dan NA yang terlibat dalam mengusahakan terbentunya IMM sejak
awal sampai berdirinya adalah mereka yang betul-betul tidak pernah terlibat
dalam HMI. Berdirinya IMM berdasarkan perjalanan sejarahnya tersebut adalah
karena tuntutan dan keharusan sejarah (historical nessecity) dalam kontek
kehidupan umat, bangsa, dan negara serta dinamika gerakan mahasiswa di
Indonesia. Adapun maksud berdirinya IMM adalah: 1. Turut memelihara martabat
dan membela kejayaan bangsa; 2. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam;
3. Sebagai upaya untuk menopang, melangsungkan, dan meneruskan cita-cita pendirian
Muhammadiyah; 4. Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna cita-cita
pembaruan dan amal usaha Muhammadiyah; 5. Membina, meningkatkan, dan
memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa, umat, dan
persyarikatan.
Dinamika Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Seperti
halnya organisasi-organisasi lain, dalam karier sejarahnya IMM mengalami
dinamika gerakan yang naik turun dan pasang surut. Selama lebih dari tiga
setengah dasawarsa ini, IMM telah mengalami empat periode gerakan. Pertama,
periode pergolakan dan pemantapan (1964-1971). Kedua, periode pengembangan
(1971-1975). Ketiga, periode tantangan (1975-1985). Keempat, periode
kebangkitan (1985-?).
Dalam periode pergolakan dan pemantapan ini, IMM
yang masih sangat muda harus berhadapan dengan situasi dan kondisi sosial,
politik, ekonomi, budaya di tengah kehidupan berbangsa, bernegara dan
beragama yang sangat rawan dan kritis. IMM pada saat itu langsung berhadapan
dengan kebijakan Manipol Usdek Bung Karno, Nasakom, dan ancaman PKI. Dalam
periode ini kegiatan-kegiatan IMM lebih banyak diarahkan kepada pembinaan
personil, penguatan organisasi, pembentukan dan pengembangan IMM di kota-kota
maupun perguruan tinggi. Dalam periode ini pula pola gerakan, prinsip
perjuangan dan perangkat organisasi IMM berhasil ditetapkan.
Dalam periode ini telah terselenggara tiga kali
Musyawarah Nasional (Muktamar) dan empat kali Konferensi Nasional (Tanwir)
serta terbentuk lima kali formasi kepemimpinan IMM. Selama periode ini
Mohammad Djazman Al-Kindi terus menjadi Ketua Umum DPP IMM. Kepemimpinan
pertama (DPP Sementara) pra-Munas berlangsung dari tahun 1964-1965, dengan
Ketuanya Mohammad Djazman Al-Kindi. Kepemimpinan kedua (1965-1967) adalah
hasil Munas I di Surakarta (1-5 Mei 1965). Ketua Umum: Mohammad Djazman
Al-Kindi; dan Sekretaris Jendral: A. Rosyad Sholeh. Kepemimpinan ketiga hasil
reshuffle pada pertengahan 1966, Ketua Umumnya tetap; dan Soedibjo Markoes
menjadi Pejabat Sekjen. Kepemimpinan keempat (1967-1969) hasil Munas II di
Banjarmasin (26-30 November 1967), Ketua Umum tetap; dan Sekjennya adalah
Syamsu Udaya Nurdin. Kepemimpinan kelima hasil reshuffle pada Konfernas di
Magelang (1-4 Juli 1970), Ketua Umum-nya masih tetap; sedangkan yang menjadi
Sekjen adalah Bahransyah Usman.
Selain Djazman, tokoh-tokoh awal IMM lainnya yang
terkenal di antaranya seperti: A. Rosyad Sholeh, Soedibjo Markoes, Mohammad
Arief, Sutrisno Muhdam, Zulkabir, Syamsu Udaya Nurdin, Nurwijoyo Sarjono,
Basri Tambun, Fathurrahman, Soemarwan, Ali Kyai Demak, Sudar, M. Husni
Thamrin, M. Susanto, Siti Ramlah, Deddy Abu Bakar, Slamet Sukirnanto, M.
Amien Rais, Yahya Muhaimin, Abuseri Dimyati, Marzuki Usman, Abdul Hadi W.M.
Machnun Husein, dll.
Peran dan kehendak IMM untuk meneguhkan dan
memantapkan eksistensinya secara signifikan dalam konteks kehidupan berbangsa
dan bernegara serta untuk kepentingan ummat dan Muhammadiyah selama periode
ini tampak menonjol, baik melalui pernyataan deklarasi-deklarasinya—seperti
Deklarasi Kota Barat 1965 dan Deklarasi Garut 1967—maupun dengan aktivitas
kegiatan dan artikulasi gerakannya. Mulai tahun 1971-1975 disebut sebagai
periode pengembangan, karena masalah-masalah yang menyangkut konsolidasi
pimpinan dan organisasi tidak terlalu banyak dipersoalkan. Orientasi kegiatan
dan dinamika gerakan IMM sudah mulai banyak diarahkan pada pengembangan
organisasi seperti melalui program-program sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Dinamika gerakan IMM ini semakin memperteguh concern IMM terhadap
masalah-masalah kehidupan mahasiswa, umat, dan bangsa di tengah gejolak
sosial dan modernisasi pembangunan. Hal ini misalnya seperti yang dinyatakan
dalam Deklarasi Baiturrahman 1975, maupun dalam hasil rumusan pemikiran dari
Munas dan Konferensi IMM. Dalam periode ini hanya terjadi satu kali suksesi
kepemimpinan di tingkat DPP IMM. Munas III di Yogyakarta (14-19 Maret 1971)
menghasilkan A. Rosyad Sholeh sebagai Ketua Umum; dan Machnun Husein sebagai
Sekjen. Kemudian Konfernas V di Padang memutuskan penambahan personalia staf
DPP IMM, yaitu: Alfian Darmawan, Abbas Sani, Maksum Saidrum, Ajeng Kartini,
Dahlan Rais, Ahmad Syaichu, dan Arief Hasbu.
Dalam periode ini pula terjadi peristiwa penting
yang mewarnai keberadaan IMM, yaitu dalam hal pembentukan KNPI (Komite
Nasional Pemuda Indonesia) dan peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas
Januari 1974). Waktu itu IMM tidak diakui sebagai salah satu pencetus
kelahiran KNPI (23 Juli 1973), karena tidak ikut menandatangani Deklarasi
Pemuda Indonesia sebagai landasan berdirinya KNPI. Sementara, pembuat dan
perumus Deklarasi Pemuda Indonesia itu adalah Slamet Sukirnanto, salah
seorang anggota DPP IMM, yang waktu itu tidak bersedia menandatangani
deklarasi tersebut atas nama IMM. Ketidakikut sertaan Slamet Sukirnanto
menandatangani deklarasi tersebut, dikarenakan pembentukan wadah generasi
muda itu semula adalah secara perorangan dan sekedar sebagai wadah komunikasi
antara generasi muda serta keanggotaannya bersifat pribadi. Namun ternyata
pada saat penandatanganan harus mengatasnamakan organisasi. Dalam hal inilah
letak persoalannya. Secara organisatoris, Slamet Sukirnanto menolak
menandatangani deklarasi itu, tetapi secara pribadi ia bersedia. Ketika
terjadi peristiwa Malari—yang berakibat pada tindakan represif terhadap
gerakan mahasiswa--, maka pada tanggal 16 Januari 1974 IMM mengirim surat
kepada Presiden Soeharto untuk mengadakan referendum dalam upaya mencari
kebenaran obyektif mengenai kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
Upaya ini diharapkan dapat tetap menjaga keutuhan persatuan serta kepentingan
bangsa dan negara yang lebih besar jangan sampai menjadi korban para pemegang
policy. Dalam menghadapi aksi Malari tersebut, IMM berharap agar pemerintah
tidak memadamkan aspirasi dan idealisme mahasiswa.
Di antara ide dan gagasan pemikiran IMM pada periode
ini adalah mengenai pendidikan. Dalam hal ini IMM menyadari bahwa pendidikan
adalah suatu usaha "human investmen" yang penting untuk melukis dan
mewarnai masa depan bangsa. Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting
untuk menumbuhkan dan membina mental attitude bangsa. Kemudian mengenai masalah
organisasi mahasiswa, IMM berpendapat bahwa keberadaannya harus berfungsi
sebagai organisasi kader dan sekaligus dakwah. Karena itu organisasi
mahasiswa harus menganut asas potensi, partisipasi, keluwesan, dan
kesederhanaan.
Sedangkan dalam hal generasi muda, IMM berpendangan
bahwa pembinaannya harus senantiasa dikaitkan dengan strategi pembangunan
nasional yang berjangka panjang. Untuk itu perlu adanya pembauran antara
konsep generasi muda sebagai pelanjut dengan konsep generasi muda sebagai
pembaharu. Demikian pula halnya dengan perpaduan antara pengertian kader dan
pioner.
Setelah melewati periode pergolakan dan pemantapan
serta pengembangan, pada tahun 1975-1985 IMM berada dalam periode tantangan.
Dalam periode ini Muktamar IV IMM di Semarang (21-25 Desember 1975),
menghasilkan Zulkabir sebagai Ketua Umum; dan M. Alfian Darmawan sebagai
Sekjen. Dalam periode ini IMM sebetulnya tidak menghadapi konflik atau
tantangan yang berarti, yang menyebabkan organisasi ini mengalami stagnasi.
Namun persoalannya terletak pada terjadinya kevakuman kepemimpinan di tingkat
nasional (DPP IMM) selama lebih kurang satu dasawarsa. Selama periode ini di
tingkat DPP tidak terjadi suksesi dan regenerasi kepemimpinan, atau dengan
kata lain tidak terselenggara musyawarah nasional atau muktamar, yang
seharusnya berlangsung pada tahun 1978.
Kevakuman dan terjadinya kemandegan IMM di DPP ini
menimbulkan keprihatinan dan keheranan bagi banyak pihak, khususnya di
kalangan Muhammadiyah dan ortomnya. Pada tahun 1983, H.S. Prodjokusumo misalnya
menanggapi masalah ini dalam tulisannya IMM Bangkitlah. Kemudian dengan nada
menyindir dan dalam gaya personifikasi—tanpa bisa menutupi kekecewaannya
tehadap IMM—Umar Hasyim menulis: "Merenungi sejarahmu, kita jadi heran,
ketika sejak Muktamar ke-4 tahun 1975 itu anda dengan lelapnya tidur nyenyak
selama sepuluh tahun, karena pada bulan April 1986 engkau baru berhasil
bermuktamar dan memilih kepengurusan DPP lagi. Sungguh luar biasa sekali,
suasana dunia dimana anda berada ini demikian gegap gempitanya, tetapi anda
bisa lelap tidur." Namun demikian, kendati di tingkat DPP terjadi
kevakuman, justru di bawahnya IMM tetap eksis dan bergerak. Aktivitas
kegiatan, program kerja, dan kaderisasi di tingkat bawah itu terus berjalan.
Kevakuman DPP IMM tidak mempengaruhi aktivitas IMM di Daerah, Cabang, dan
Komisariat. Identitas IMM ternyata begitu kuat melekat pada jiwa para
pimpinan dan kader IMM di bawah. Di level bawah IMM masih tetap tumbuh subur.
Meski berada dalam periode tantangan, IMM masih tetap berusaha untuk
melahirkan ide dan gagasan pemikirannya. Di antara ide dan gagasannya itu
adalah mengenai perlunya Menteri Negara Urusan Pemuda. Ide dan gagasan
pemikiran tersebut berangkat dari latar belakang kemahasiswaan dan kepemudaan
yang tidak mempunyai saluran yang semestinya. Untuk itulah IMM mengusulkan
kepada Presiden Soeharto untuk mengnagkat seorang Menteri Negara Urusan
Pemuda yang menyelenggarakan dan membina komunikasi dengan seluruh eksponen
generasi muda. Kemudian, ketika terjadi Keputusan 15 November 1978 (KNOP 15),
IMM mengusulkan perlunya pengendalian dan pengarahan konsumsi masyarakat. Hal
ini mengingat telah terjadinya bentuk konsumsi yang non-esensial dan tidak
produktif. Di samping itu, perlunya perlindungan dan pembinaan industri kecil
agar dapat bersaing dengan industri besar, oleh IMM dikemukakan kepada
pemerintah. Demikian pula halnya dengan pemerataan pendapatan dan kesempatan
kerja perlu diperhatikan oleh pemerintah. Setelah mengalami kevakuman dan
kemandegan selama satu dasawarsa itu, maka pada tahun 1985 IMM mulai memasuki
periode kebangkitan. Periode ini dimulai dengan adanya SK PP Muhammadiyah No.
10/PP/1985 tertanggal 31 Agustus 1985 tentang pembentukan DPP (Sementara)
IMM. DPP(S) ini terdiri dari:
Ketua :Immawan Wahyudi (DIY)
Ketua I : Drs. Anwar Abbas (DKI)
Ketua II : Drs. M. Din Syamsuddin (DKI)
Ketua III : Farid Fathoni AF (Surakarta)
Sekretaris I : Mukhlis Ahasan Uji (DIY)
Sekretaris II : Nizam Burhanuddin (DKI)
Sekretarus III: Agus Syamsuddin (DIY)
Bendahara I : St. Daulah Khoiriati (DIY)
Bendahara II : Asmuyeni Muchtar (DKI)
Setelah dilantik pada tanggal 1 september 1985,
DPP(S) IMM mulai menata organisasi dan menjalankan aktivitasnya. Pada tanggal
7-10 desember 1985 DPP(S) berhasil mengadakan Tanwir ke-7 IMM di Surakarta.
Tanwir yang bertemakan "Bangkit dan Tegaskan Identitas Ikatan" ini
pada akhirnya mampu membangkitkan IMM dari tidurnya yang panjang. Hingga
kemudian pada tanggal 14-18 april 1986 DPP(S) berhasil menyelenggarakan
Muktamar ke-5 IMM di Padang, Sumatra Barat. Selain pada akhirnya berhasil
menyusun kepengurusan DPP IMM yang baru periode 1986-1989 (Ketua Umum: Nizam
Burhanuddin; dan Sekjen: M. Arifin Nawawi), Muktamar V itu juga mampu
merumuskan konsep pengembangan wawasan bangsa dan umat kaitannya dengan
identitas Ikatan, penyusunan ulang sistem perkaderan, pengembangan organisasi
dan pembahasan program kerja. Dalam Muktamar V itu IMM juga bisa menghasilkan
Deklarasi Padang, yang mengartikulasikan visi dan keberpihakan IMM terhadap
masalah-masalah dunia internasional, umat Islam di Indonesia, Muhammadiyah,
IMM sendiri, serta pembinaan generasi muda dan mahasiswa. Dalam periode
kebangkitan ini IMM tidak lepas dari halangan dan tantangan. Artikulasi
gerakan IMM pun mengalami dinamika dan fluktuasi. Dalam periode kebangkitan
(sampai sekarang) ini IMM telah mengalami beberapa kali Muktamar dan Tanwir,
yang berperan untuk menpertahankan eksistensi IMM dan menyinambungkan
regenerasi kepemimpinannya.
Muktamar VI di Ujungpandang (7-12 Juli 1989)
menghasilkan DPP IMM (periode 1989-1992), dengan M. Agus Samsudin sebagai
Ketua Umum; dan Fauzan sebagai Sekjen. Kemudian Tanwir VIII di Medan (24-28
April 1991), memutuskan Abdul Al Hasyir sebagai Sekjen, menggantikan Fauzan.
Pada tanggal 25-31 Desember 1992 IMM berhasil menyelenggarakan Muktamar VII
di Purwokerto, yang menghasilkan Tatang Sutahyar W sebagai Ketua Umum; dan
Syahril Syah sebagai Sekjen untuk periode 1993-1995. Selanjutnya, pada Tanwir
IX di Palembang (7-11 Juli 1994) terjadi pergantian Ketua Umum dari Tatang
Sutahyar oleh Syahril Syah sebagai Pj. Ketua Umum, dan Armyn Gultom sebagai
Sekjen. Selanjutnya, pada tanggal 25-31 Maret 1995 IMM kembali mengadakan
Muktamar VIII di Kendari yang berhasil memilih Syahril Syah sebagai Ketua
Umum dan Abd. Rohim Ghazali sebagai Sekjen untuk periode 1995-1997. Kemudian
pada tanggal 22 Februari-2 Maret 1997, IMM kembali mengadakan Muktamar IX di
Medan yang menghasilkan Irwan Badillah sebagai Ketua Umum dan M. Irfan Islami
Dj. sebagai Sekjen untuk periode 1997-2000. Sampai sekarang IMM memiliki 26
DPD dan 115 PC, serta anggota sebanyak kurang lebih 567.000 orang. Anggota
IMM tersebut tersebar di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta serta
perguruan tinggi Muhammadiyah khususnya. Artikulasi gerakan IMM tidak
terbatas dalam aktivitas dan pelaksanaan program-program kerja yang rutin belaka,
tetapi juga aktif dalam menyikapi dan merespons persoalan-persoalan
sosial-politik dan kemanusiaan, baik dalam skala lokal, nasional, maupun
global. Kepedulian dan keberpihakan IMM seperti ini, karena IMM tidak ingin
teralienasi oleh dinamika zaman dan terbawa arus secara pasif oleh perubahan
sosial yang terus bergulir. Begitu pula ketika terjadi aksi-aksi gerakan
reformasi yang banyak dilakukan kalangan mahasiswa dan kaum intelektual pada
tahun 1997, IMM tidak ketinggalan melibatkan diri dan aktif bergerak di
dalamnya. Baik di tingkat pusat maupun daerah, bersama eksponen Angkatan Muda
Muhammadiyah lainnya IMM bergerak untuk mendukung dan menyukseskan aksi
gerakan reformasi yang berhasil melengserkan Presiden Soeharto dari tampuk
kekuasaannya. Di Yogyakarta misalnya IMM bergabung dalam Komnas AMM bersama
organisasi otonom lainnya dalam mengartikulasikan gerakan dan tuntutan
reformasi. Selain itu di beberapa Komisariat dan Korkom, IMM juga banyak
mengadakan aksi dan gerakan serupa. Begitu pula dengan IMM di daerah-daerah
lainnya, seperti di Jakarta yang menamakan gerakannya dengan FAKSI IMM (Front
Aksi untuk Reformasi). Di Surabaya dan Ujungpandang IMM ada dalam GEMPAR
(Gerakan Mahasiswa Pro Amien Rais) dsb. Selain itu, ketika akan berlangsung
jajak pendapat penentuan status Timor-Timur pada tanggal 30 Agustus 1999, IMM
juga berpartisipasi aktif dalam pemantauannya. Pada waktu akan, selama, dan
sesudah berlangsung jajak pendapat tersebut IMM telah mengirimkan Immawan
Wachid Ridwan (Biro Kerjasama Luar Negeri dan Hubungan Internasional DPP IMM)
ke Timor-Timur untuk melakukan pemantauan bersama LSM dan OKP lainnya.
Susunan dan Struktur Organisasi Seperti Muhammadiyah
dan organisasi otonom lainnya, secara vertikal IMM memiliki susunan
organisasi mulai dari tingkat pusat sampai komisariat. Lengkapnya:
Komisariat, Cabang, Daerah, dan Pusat. Kepemimpinannya disebut Pmpinan
Komisariat (PK), Pimpinan Cabang (PC), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), dan Dewan
Pimpinan Pusat (DPP). Komisariat ialah kesatuan anggota dalam suatu
fakultas/akademi atau tempat tertentu. Cabang ialah kesatuan
komisariat-komisariat dalam suatu Daerah Tingkat II atau daerah tertentu.
Daerah ialah kesatuan cabang-cabang dalam suatu Propinsi/Daerah Tingkat I.
Pusat ialah kesatuan daerah-daerah dalam Negara Republik Indonesia. Sebagai
salah satu organisasi otonom Muhammadiyah, maka masing-masing level dari
susunan organisasi tersebut mempunyai hubungan keorganisasian yang horizontal
dengan Pimpinan Muhammadiyah. DPP IMM dengan PP Muhammadiyah; DPD IMM dengan
PW Muhammadiyah; PC IMM dengan PD Muhammadiyah; dan PK IMM dengan PC/PR
Muhammadiyah.
Adapun struktur organisasi IMM, berdasarkan hasil
Muktamar IX di Medan adalah sebagai berikut. Mulai dari tingkat DPP sampai PK
terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Jenderal—khusus untuk DPP, sedang untuk
DPD sampai PK: Sekretaris Umum--, Bendahara Umum (bersama dua wakilnya);
ditambah dengan beberapa Ketua Bidang dan Sekretaris Bidang (Organisasi,
Kader, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Hikmah. Sosial Ekonomi, dan Immawati).
Struktur organisasi ini dibantu oleh sebuah biro, beberapa lembaga studi, dan
dua korps (Biro Kerjasama Luar Negeri dan Hubungan Iternasional [hanya ada di
DPP]; Lembaga Studi Kelembagaan dan Pengembangan Organisasi; Lembaga
Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Kader; Lembaga Pengembangan Ilmu
Agama dan Sosial Budaya; Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Penerapan
Teknologi; Lembaga Pers IMM [hanya ada di tingkat DPP dan DPD]; Lembaga
Pengkajian Strategi dan Kebijakan; Lembaga Kesejahteraan Rakyat dan
Lingkungan Hidup; Lembaga Studi dan Pengembangan Ekonomi Ummat [istilah
lembaga hanya untuk DPP dan DPD, sedang di PC menggunakan istilah
departemen]; Korps Instruktur [hanya ada di tingkat DPP sampai PC]; dan Korps
Immawati). Kemudian di tingkat PK, departemen yang ada adalah: Departemen
Organisasi, Kader, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Hikmah, dan Sosial
Ekonomi.
*(lih.
Dari pelbagai sumber)
|
TENTANG IMM
Langganan:
Postingan (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar